Ekspor Disetir Barat, Sumber Daya Disedot Timur

Ekspor Disetir Barat Selama bertahun-tahun, negara berkembang terjebak dalam mentalitas ekspor yang mengabdi pada Amerika Serikat. Mereka menganggap AS sebagai pahlawan penyelamat ekonomi. Padahal kenyataannya, kita hanya jadi pemasok bahan mentah murah.

Dari tekstil hingga kelapa sawit, semua dikirimkan demi memenuhi gaya hidup negara adidaya. Tak ada nilai tambah yang tersisa slot di negeri sendiri. Negara berkembang justru kian bergantung pada permintaan dari luar.

Setiap perubahan kebijakan perdagangan Amerika bisa melumpuhkan industri lokal. Ketika tarif dinaikkan, ekspor menurun drastis. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan. Negara berkembang hanya bisa menunggu, berharap, dan mengikuti.

Dolar Amerika: Mata Uang Tuhan di Negeri Koloni

Dolar menjadi patokan semua transaksi, seolah mata uang lokal tidak punya martabat. Negara berkembang meminjam dalam dolar, berdagang dalam dolar, bahkan menabung dalam dolar.

Ketika The Fed menaikkan suku bunga, dampaknya langsung menghantam negara-negara seperti Indonesia. Rupiah melemah, utang membengkak, ekonomi panik. Harga kebutuhan pokok naik, inflasi melonjak.

Bank sentral di negara-negara berkembang pun ikut-ikutan menaikkan suku bunga, bukan karena logika domestik, tapi demi menjaga nilai tukar. Rakyat yang menanggung akibatnya. Pemerintah menjual konsesi tambang dan hutan layaknya giveaway nasional.

Investasi China: Uang Datang, Kedaulatan Hilang

China membanjiri negara berkembang dengan uang lewat Belt and Road Initiative. Tapi investasi ini bukan tanpa syarat. Infrastruktur dibangun, tapi dengan utang mengikat.

Pelabuhan, rel kereta cepat, dan jalan tol dibangun oleh tenaga kerja China. Sementara rakyat lokal cuma jadi penonton. Bahan baku, alat berat, bahkan makanan pekerja dibawa langsung dari China.

Mental Inlander dalam Diplomasi Ekonomi

Pejabat negara berkembang masih tunduk pada mental inlander. Mereka merasa bangga saat mendapat pinjaman dari World Bank atau proyek dari Beijing.

Baca juga artikel lainnya yang ada di situs kami https://steuerberaterrating.com.

Padahal semua itu berujung pada ketergantungan yang memperparah defisit. Kita tidak belajar dari sejarah kolonial. Kita menjual negeri dengan senyum lebar, demi ilusi pertumbuhan.

Negara Berkembang Terjebak Strategi Gagal

Strategi ekonomi kita terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah. Tidak ada hilirisasi yang serius. Tidak ada transformasi ekonomi.

Kita bangga saat GDP naik, tapi tidak sadar bahwa itu hanya angka semu hasil ekspor mentah yang tak menciptakan lapangan kerja.

Pabrik Asing, Buruh Lokal, Keuntungan Pulang ke Luar

Perusahaan multinasional membangun pabrik di negara berkembang untuk satu alasan: buruh murah. Mereka bayar minimum, produksi maksimum.

Rakyat lokal hanya dapat upah, tidak pernah memiliki saham ataupun teknologi. Tidak ada transfer pengetahuan. Tidak ada kemandirian industri.

Rantai Pasok Global: Perbudakan Modern yang Dibenarkan

Nyatanya, ini adalah perbudakan modern yang menyamar lewat kata “kerja sama” dan “investasi asing”.

Negara berkembang hanya jadi mata rantai rendah, tanpa akses naik kelas. Mereka tak punya posisi tawar. Perdagangan bebas hanya bebas untuk korporasi besar, bukan untuk petani atau nelayan.

Kebijakan Ekonomi: Copy-Paste dari Negara Donor

Kita lebih sering meniru blueprint dari IMF, World Bank, atau negara donor daripada menciptakan model sendiri. Seolah-olah jalan sukses hanya satu: privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi.

Alih-alih kembangkan kekuatan domestik, kita lebih sibuk mengejar peringkat Ease of Doing Business dan Rating Moody’s. Padahal rakyat makin miskin.

Utang Negara: Jebakan Manis Berujung Derita

Pemerintah menyebutnya investasi masa depan. Rakyat dibebani pajak demi membayar bunga. Tapi fasilitas publik justru jadi milik swasta asing. Tarif naik, akses makin terbatas.

Elit Politik: Penjaja Kepentingan Asing dengan Jas Nasional

Banyak elit politik di negara berkembang hanya jadi makelar proyek asing. Mereka memakai baju nasionalisme, tapi pikirannya berorientasi barat atau timur.

Mereka mendapat komisi besar dari proyek tambang, pelabuhan, hingga industri sawit. Rakyat tak pernah diajak bicara. Demokrasi hanya formalitas.

Media Mainstream Bungkam, Media Alternatif Muncul

Media besar diam. Mereka hidup dari iklan perusahaan besar yang terafiliasi asing. Mereka tak mungkin kritik investasi China atau ekspor ke AS.

Tapi kini muncul media alternatif. Kompasiana jadi ruang perlawanan wacana. Opini kritis mulai naik ke permukaan. Podcast independen dan kanal YouTube aktivis jadi sumber kebenaran baru.

Data Tak Pernah Bohong: Ketimpangan Melebar, Alam Hancur

Gini ratio meningkat. Ketimpangan antar wilayah makin parah. Hutan gundul, sungai tercemar, tambang merajalela. Banjir dan longsor jadi rutin.

Pemerintah sibuk bangun narasi keberhasilan. Tapi data membongkar semuanya. Strategi ekonomi ini gagal total. Bahkan indeks kebahagiaan rakyat menurun.

Kita tak pernah ingin rakyat makmur. Kita hanya ingin terlihat makmur di mata investor global.

Kemiskinan menjadi alat untuk menarik bantuan asing, menarik simpati, dan mendapatkan kredit murah dari luar negeri. Laut tercemar limbah industri demi ekspor baja ke China. Konflik agraria meningkat.

Petani dan nelayan kehilangan penghidupan. Tapi pemerintah malah beri penghargaan pada eksportir terbesar.

Pemerintah rajin memamerkan angka: pertumbuhan, ekspor, investasi. Tapi tak pernah bicara soal distribusi kekayaan. Kota dan desa makin timpang.

Anak-anak petani tak bisa sekolah. Buruh hanya sanggup menyewa kamar kos kecil. Tapi pemerintah sibuk klaim keberhasilan ekonomi. Kebijakan tak menyentuh akar. Tapi praktiknya, investasi lebih penting dari konstitusi.

Suara Rakyat Semakin Menguat di Media Sosial

Kini rakyat bersuara di media sosial. Kritik terhadap investasi asing dan ekspor tak berkeadilan makin marak.

Tagar #IndonesiaBukanTambang dan #TolakInvestasiAsing sering trending. Rakyat mulai melek ekonomi politik. Solidaritas digital terbentuk.

Pendidikan Ekonomi Kritis Jadi Kebutuhan Mendesak

Sekolah tak lagi boleh hanya mengajarkan teori ekonomi kapitalis yang sudah usang. Sebaliknya, pendidikan ekonomi harus bersifat kritis dan membongkar sistem global yang selama ini mendominasi. Oleh karena itu, kurikulum yang ada saat ini harus segera mengalami perubahan signifikan agar mampu memberikan wawasan yang lebih luas kepada para siswa. Dalam hal ini, penting bagi para pendidik untuk menanamkan pemahaman mengenai sistem ekonomi yang lebih adil, bukan hanya yang menguntungkan segelintir pihak. Dengan kata lain, pendidikan ekonomi harus memperkenalkan konsep-konsep yang memupuk kesadaran akan pentingnya keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi.

Kekuatan Rakyat dalam Politik Ekonomi Harus Bangkit

Di sisi lain, hanya rakyat yang bisa menyelamatkan negara dari kehancuran ekonomi yang semakin nyata. Mereka adalah benteng terakhir yang bisa menjaga kedaulatan ekonomi, terlepas dari tekanan eksternal yang mungkin datang dari kekuatan global. Untuk itu, rakyat harus diberdayakan dengan pengetahuan ekonomi yang kritis agar mampu berperan lebih aktif dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi penerima dampak, melainkan juga agen perubahan yang berdaya. Oleh karena itu, gerakan untuk memperkuat kekuatan rakyat dalam politik ekonomi harus terus digalakkan, agar kesadaran kolektif tentang pentingnya kedaulatan ekonomi benar-benar terwujud.

 

Exit mobile version